Rabu, 28 Desember 2011

Subsidi

Tampaknya sudah merupakan tabiat pemerintah untuk menunda-nunda penyelesaian masalah yang sudah lama membelenggu atau menyandera perekonomian. Yang kerap disampaikan adalah ongkos mahal yang harus ditanggung perekonomian jikalau keputusan segera diambil.

Padahal, menunda keputusan juga ada ongkosnya. Bahkan, boleh jadi, ongkos penundaan itu bisa lebih mahal dan kian membengkak kalau terus ditunda.
Subsidi bahan bakar minyak (BBM) ibarat tumor di dalam perekonomian. Tanpa tindakan cepat dan tepat, yang sudah barang tentu sangat menyakitkan, tumor akan menyebar ke sekujur tubuh sehingga semakin sulit ditangani.
Teramat banyak variabel yang hendak dikendalikan, padahal perangkat kebijakan yang tersedia sangat terbatas.
Presiden mengamanatkan anggaran berimbang. ”Kalau terpaksa harus ada defisit untuk stimulus pertumbuhan, membiayai pembangunan, menjalankan kegiatan pemerintahan, harus kita terima defisit itu. Namun, kalau urgensinya tidak ada dan defisit diambil dari pinjaman, apalagi pinjaman luar negeri, itu bukan solusi.” (Kompas, 25 Juni 2011, halaman 17)
Kenyataannya pemerintah sudah mengambil ancang-ancang untuk menambah utang luar negeri dengan menerbitkan global bond. Suku bunga untuk obligasi global itu tak murah, sekitar 7 persen. Betapa ironis, untuk menutup subsidi BBM yang bersifat konsumtif, pemerintah melakukannya dengan pembiayaan yang mahal.
Bayangkan jika skenario pembengkakan subsidi energi benar-benar terjadi sebagaimana tercantum di dalam rancangan APBN-P (perubahan). Subsidi BBM bakal naik dari Rp 96 triliun menjadi Rp 121 triliun dan subsidi listrik membengkak dari Rp 41 triliun menjadi Rp 66 triliun. Dengan demikian, subsidi energi melonjak dari Rp 137 triliun menjadi Rp 187 triliun.
Bandingkan dengan subsidi untuk kegiatan produktif: subsidi pupuk Rp 19 triliun, subsidi benih hanya Rp 120 miliar, dan subsidi suku bunga untuk kredit program Rp 1,9 triliun---Total 21 T. Sangat kontradiktif dengan komitmen Presiden. Betapa pemerintah tak seia-sekata antara ucapan dan perbuatan.
Ketiga jenis subsidi yang nyata-nyata untuk kegiatan produktif dan memajukan sektor pertanian—di tengah pemberitaan impor produk-produk pertanian yang terus naik—hanya Rp 21 triliun, tak sampai seperlima dari subsidi BBM.
Apa yang bakal terjadi jika ucapan Presiden dituruti dan harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan?
Pertama, kuota volume BBM bersubsidi tak dinaikkan. Akibatnya, kelangkaan akan semakin parah merata mengingat peningkatan konsumsi BBM relatif tinggi, di atas 7 persen per tahun. Akan muncul pasar gelap dengan harga yang menggila, yang akhirnya juga membebani masyarakat dan dunia usaha. Juga muncul ketidakpastian baru.
Kesemuanya itu pada gilirannya akan membebani masyarakat dan dunia usaha. Bisa saja beban ketidakpastian ini juga memicu inflasi sebagaimana yang ditakutkan pemerintah kalau menaikkan harga BBM bersubsidi.
Akan muncul pula persoalan hukum. Penyalahgunaan BBM bersubsidi akan semakin marak sehingga lebih memacu pembelian dan penimbunan. Mengingat kapasitas produksi kilang di dalam negeri tak kunjung bertambah, impor BBM akan membengkak.
Selama lima bulan pertama 2011, impor BBM sudah naik luar biasa, 62 persen, dari 6,9 miliar dollar AS pada Januari-Mei 2010 menjadi 11,2 miliar dollar AS pada Januari-Mei 2011.
Tak tertutup kemungkinan sepanjang tahun ini impor BBM akan melampaui rekor tertinggi tahun 2008 sebesar 20,3 miliar dollar AS. Dengan begitu, kita memperkokoh posisi sebagai negara pengimpor BBM terbesar di Asia.
Luar biasa, mengingat kita merupakan negara penghasil minyak. Tidakkah pemerintah menghitung ongkos yang sangat mahal ini?
Pemerintah memandang inflasi sebagai momok jika subsidi BBM dipangkas. Kalau begitu, mengapa pemerintah tak kunjung melakukan pembenahan terhadap akar masalah inflasi? Mengapa transportasi laut masih sangat buruk dan mahal? Dengan menohok ke akar masalah inflasi, dampak neto kenaikan harga BBM bersubsidi bisa ditekan menjadi serendah mungkin.
Jika subsidi BBM bisa dipangkas—tak harus dihapus—kian terbuka lebar bagi pemerintah untuk menghadirkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tanpa ”ketakutan” lagi memandangnya sebagai risiko fiskal atau membebani anggaran. Bukankah sebenarnya yang membebani pemberlakuan SJSN adalah belenggu subsidi BBM ini?
Bukankah kehadiran SJSN bakal menjadi penyangga bagi perekonomian, khususnya rakyat kebanyakan? Hal itu mengingat SJSN pada kelihatannya adalah perangkat paling superior sebagai jaring-jaring pengaman pasar sehingga rakyat lebih mampu menghadapi gejolak pasar seperti dampak kenaikan harga BBM.
Namun, kala partai berkuasa sedang didera masalah dan kala popularitas Presiden sedang merosot, kian sulit agaknya membayangkan pemerintah mengambil keputusan secara rasional.
Semoga kali ini tidak begitu karena ongkos yang ditimbulkan sudah akan semakin mencekik pemerintah dan menambah ketidakpastian dalam perekonomian, yang ongkosnya bisa jadi jauh lebih mahal. Pun ongkos politiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar