Benarkah menjadi eksekutif di BUMN itu lebih sulit dibanding di
swasta? Benarkah menjadi direksi di perusahaan negara itu lebih makan
hati? Lebih tersiksa? Lebih terkungkung birokrasi? Lebih terbelit
peraturan? Lebih tidak ada hope? Jawabnya: entahlah.
Belum ada penelitian ilmiahnya. Yang ada barulah rumor. Persepsi. Anggapan.
Bagaimana kalau dibalik: tidak mungkinkah anggapan itu hanya cermin
dari pepatah “rumput di halaman tetangga lebih hijau”. Atau bahkan lebih
negatif lagi: sebagai kambing hitam? Yakni, sebuah kambing hitam untuk
pembenaran dari kegagalan? Atau sebuah kambing hitam untuk sebuah
ketidakmampuan?
Agar lebih fair, sebaiknya didengar juga suara-suara dari kalangan eksekutif swasta.
Mereka tentu bisa banyak bercerita. Misalnya, cerita betapa stresnya
mengejar target dari sang pemilik perusahaan. Di sisi ini jelas menjadi
eksekutif di swasta jauh lebih sulit. Bagi seorang eksekutif swasta yang
tidak bisa mencapai target, hukumannya langsung di depan mata:
diberhentikan. Bahkan, kalau lagi sial, yakni menghadapi pemilik
perusahaan yang mulutnya kotor, seorang eksekutif swasta tidak ubahnya
penghuni kebun binatang.
Di BUMN konsekuensi tidak mencapai target tidak ada. Menteri yang
mewakili pemilik BUMN setidaknya tidak akan pernah mencaci maki
eksekutifnya di depan umum.
Bagaimana dengan citra campur tangan yang tinggi di BUMN? Ini pun
kelihatannya juga hanya kambing hitam. Di swasta campur tangan pemilik
jauh lebih dalam.
Katakanlah direksi BUMN mengeluh seringnya dipanggil DPR sebagai
salah satu bentuk campur tangan. Tapi, saya lihat, pemanggilan oleh DPR
itu tidak sampai memiliki konsekuensi seberat pemanggilan oleh pemilik
perusahaan swasta. Apalagi, Komisi VI DPR yang membawahkan BUMN sangat
proporsional. Tidak banyak yang aneh-aneh. Bahkan, salah satu anggota
DPR di situ, Mumtaz Amin Rais, sudah seperti anggota parlemen dari
Inggris. Kalau bertanya sangat singkat, padat, dan langsung pada pokok
persoalan. Tidak sampai satu menit. Anggota yang lain juga tidak ada
yang sampai menghujat tanpa alasan yang kuat. Jelaslah, campur tangan
pemilik perusahaan swasta jauh lebih mendalam.
Di swasta juga sering ditemukan kenyataan ini: banyak pemilik
perusahaan swasta yang maunya aneh-aneh. Kediktatoran mereka juga luar
biasa! Sangat biasa pemilik perusahaan swasta memaksakan kehendaknya.
Dengan demikian, cerita soal campur tangan pemilik, soal pemaksaan
kehendak, dan soal kediktatoran pemilik di swasta jauh lebih besar
daripada di BUMN.
Bagaimana dengan iklim korporasinya? Sebenarnya juga sama saja. Hanya
berbeda nuansanya. Bukankah di swasta Anda juga sering terjepit oleh
besarnya dominasi keluarga pemilik? Apalagi kalau si pemilik akhirnya
sudah punya anak dan anak itu tumbuh dewasa dan menghasilkan
menantu-menantu? Dengan demikian, tidak cukup kuat juga alasan bahwa
menjadi eksekutif di BUMN itu lebih sulit karena iklim korporasinya
kurang mendukung.
Bagaimana soal campur tangan politik? Memang ada anggapan campur
tangan politik sangat menonjol di BUMN. Untuk soal ini pun saya
meragukannya. Saya melihat campur tangan itu lebih banyak lantaran
justru diundang oleh eksekutif itu sendiri. Di swasta pun kini akan
tertular penyakit itu. Dengan banyaknya pemilik perusahaan swasta yang
terjun ke politik, bisa jadi kerepotan eksekutif di swasta juga
bertambah-tambah. Tidakkah Anda pusing menjadi eksekutif swasta yang
pemiliknya berambisi terjun ke politik?
Maka, saya curiga orang-orang yang sering mengembuskan wacana bahwa
menjadi eksekutif di BUMN itu sulit adalah orang-orang yang pada
dasarnya memang tidak bisa bekerja. Di dunia ini alasan, dalih, kambing
hitam, dan sebangsanya terlalu mudah dicari. Orang yang sering diberi
nasihat atasannya, tapi gagal dalam melaksanakan pekerjaannya, dia akan
cenderung beralasan “terlalu banyak dicampuri sih!”. Sebaliknya, orang
yang diberi kepercayaan penuh, tapi juga gagal, dia akan bilang, “Tidak
pernah ditengok sih!”.
Maka, pada akhirnya sebenarnya kembali ke who is he! Kalau dibilang
menjadi direksi di BUMN itu sulit dan bekerja di swasta ternyata juga
sulit, lalu di mana dong bekerja yang enak? Yang tidak sulit? Yang tidak
repot? Yang tidak stres? Yang gajinya besar? Yang fasilitasnya baik?
Yang bisa bermewah-mewah? Yang bisa semaunya?
Saya tidak bisa menjawab itu. Yang paling tepat menjawabnya adalah
orang yang tingkatan hidupnya lebih tinggi dari saya. Bukan Rhenald
Kasali atau Tanri Abeng atau Hermawan Kartajaya. Bukan Peter Drucker,
bukan pula Jack Welch.
Yang paling tepat menjawab pertanyaan itu adalah seseorang yang lagi
menikmati tidurnya yang pulas pada hari Senin pukul 10 pagi di bawah
jembatan kereta api Manggarai dengan hanya beralaskan karton. Dialah
seenak-enaknya orang. Sebebas-bebasnya manusia. Tidak mikir utang, tidak
mikir target, tidak mikir tanggung jawab. Orang seperti dialah yang
barangkali justru heran melihat orang-orang yang sibuk!
Maksud saya: maka berhentilah mengeluh!
Maksud saya: tetapkanlah tekad! Mau jadi direksi BUMN atau mau di swasta. Atau mau, he he, memilih hidup yang paling nikmat itu!
Maksud saya: kalau pilihan sudah dijatuhkan, tinggallah kita fokus di
pilihan itu. Sepenuh hati. Tidak ada pikiran lain kecuali bekerja,
bekerja, bekerja!
Daripada mengeluh terus, berhentilah bekerja. Masih banyak orang lain
yang mau bekerja. Masih banyak orang lain yang tanpa mengeluh bisa
menunjukkan kemajuan!
Lihatlah direksi bank-bank BUMN itu. Mereka begitu majunya. Sama
sekali tidak kalah dengan direksi bank swasta. Padahal, direksi bank
BUMN itu terjepit antara peraturan birokrasi BUMN dan peraturan yang
ketat dari bank sentral. Mana ada direksi yang dikontrol begitu ketat
dari dua jurusan sekaligus melebihi direksi bank BUMN” Buktinya,
bank-bank BUMN kita luar biasa.
Lihatlah pemilihan Marketeers of The Year yang sudah lima tahun
dilaksanakan Marks Plus-nya Hermawan Kartajaya. Empat tahun
berturut-turut Marketeers of The Year-nya adalah direksi BUMN! Swasta
baru menang satu kali! Para Marketeers of The Year dari BUMN itu adalah
tipe orang-orang yang tidak pandai mengeluh! Mereka adalah tipe orang
yang bekerja, bekerja, bekerja!
Lihatlah tiga CEO BUMN yang minggu lalu terpilih sebagai CEO BUMN of
The Year: R.J. Lino (Dirut Pelindo 2), Tommy Soetomo (Dirut Angkasapura
1), dan Ignasius Jonan (Dirut Kereta Api Indonesia). Mereka adalah
orang-orang yang sambil mengeluh terus bekerja keras. Mereka terus
menghasilkan prestasi dari sela-sela jepitan birokrasi dan peraturan.
Bahkan, salah satu dari tiga orang itu terus bekerja keras sambil
menahan sakitnya yang berat.
Lihat pulalah para direksi BUMN yang malam itu memenangi berbagai
kategori inovasi di BUMN. Mereka adalah orang-orang andal yang mau
mengabdi di BUMN.
Maaf, mungkin inilah untuk kali terakhir saya menggunakan kata
“mengabdi di BUMN”. Setelah ini saya ingin menghapus istilah “mengabdi”
itu. Istilah “mengabdi di BUMN” tidak lebih dari sebuah kemunafikan.
Selalu ada udang di balik batu di balik istilah “mengabdi di BUMN”
itu. Setiap ada pihak yang mengucapkan kata “mengabdi di BUMN”, pasti
ada mau yang ingin dia sampaikan. Banyak sekali mantan pejabat BUMN yang
ingin terus memiliki rumah jabatan dengan alasan sudah puluhan tahun
mengabdi di BUMN. Terlalu banyak orang BUMN yang memanfaatkan istilah
mengabdi untuk tujuan-tujuan tersembunyi. Barangkali memang sudah
waktunya BUMN bukan lagi tempat mengabdi, dalam pengertian seperti itu.
Kecuali mereka benar-benar mau bekerja keras di BUMN tanpa digaji! Sudah
waktunya BUMN hanya sebagai tempat membuat prestasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar