Salah satu tantangan terbesar menghadapi dampak perubahan iklim adalah
berbagai negara di dunia dipaksa untuk merancang ulang pola pembangunan
mereka.
Negara seperti Indonesia, yang selama ini bersandar pada
produk-produk hutan untuk menambah pemasukan negara, kini terpaksa harus
memikirkan cara-cara baru untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi
tanpa merusak hutan. Indonesia juga sudah berjanji pada dunia untuk
mengurangi tingkat kerusakan hutannya dan mengurangi buangan gas
karbondioksidanya sebesar 26% pada 2020.
Di sisi lain, secara
nasional, ekonomi Indonesia juga harus tumbuh sebesar 7% sampai 2014.
Pertumbuhan ekonomi tentu berarti mengurangi kemiskinan, pengangguran,
serta semakin banyak penduduk yang sejahtera. Bagaimana Indonesia akan
mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu jika hutan,
penyumbang pemasukan terbesar selain pajak, dibatasi penggunaannya?
Kepala
Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
Kuntoro Mangkusubroto kini diserahi tugas untuk mencari cara terbaik
untuk menyeimbangkan antara mencapai pertumbuhan ekonomi lewat
pemanfaatan hutan sambil tetap melindungi hutan.
Sejak September
2010, Kuntoro juga mendapat tugas tambahan sebagai ketua gugus tugas
khusus REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation / mengurangi emisi akibat penebangan dan kerusakan hutan).
REDD
adalah skema ekonomi di mana negara-negara maju akan membayar
negara-negara berkembang pemilik hutan (seperti Indonesia) untuk tidak
menebang hutan.
Pada Mei 2010 lalu, pemerintah Norwegia adalah
yang pertama berjanji untuk memberi dana $ 1 miliar untuk perlindungan
hutan di Indonesia.
Menyusul perjanjian kerjasama Indonesia dan
Norwegia itu, pemerintah Indonesia menetapkan Kalimantan Tengah sebagai
daerah percontohan untuk perlindungan hutan sambil tetap menghasilkan
keuntungan ekonomi bagi penduduk lokal.
Dalam sebuah konferensi
pers soal perlindungan hutan di Konferensi Perubahan Iklim PBB di
Durban, Afrika Selatan, Kamis (8/12), Kuntoro mengatakan, Kalimantan
Tengah kini menjadi sebuah laboratorium.
Di sanalah tempat akan
dilakukannya berbagai eksperimen untuk menentukan formula agar Indonesia
bisa beralih ke pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang lebih ramah
lingkungan.
Salah satu penekanan pada eksperimen di Kalimantan
Tengah itu adalah bagaimana perlindungan hutan bisa berjalan bersama
dengan meningkatkan kesejahteraan dan pemasukan penduduk, terutama
masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan.
Menurut Kuntoro,
saat ini di Kalimantan Tengah, sudah ada 17 proyek yang semuanya
melibatkan masalah peningkatan kesejahteraan masyarakat.
"Kami mengidentifikasi wilayah-wilayah yang bisa dikembangkan untuk peningkatan kesejahteraan itu."
Di
saat bersamaan, rencana induk pengembangan Kalimantan Tengah ingin
menjadikan wilayah tersebut sebagai koridor energi dan perkebunan.
Bukankah perlindungan hutan dan pengembangan energi serta perkebunan akan tumpang-tindih?
Deputi
Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional Endah Murniningtyas mengatakan tidak. "Apa pun
investasi yang akan dilakukan di sana harus sesuai dengan rencana
pengurangan emisi sebesar 26% itu. Energi juga bukan hanya kelapa sawit,
ada geothermal dan gas. Ada sumber-sumber energi hijau dan ada
teknologi yang lebih bersih untuk digunakan."
Kuntoro juga
menambahkan bahwa dalam rangka proyek percontohan, timnya sudah mulai
berkomunikasi dengan pengusaha kelapa sawit yang memiliki lahan di
wilayah tersebut. "Perusahaan besar sudah sepenuhnya mengikuti ketentuan
(lingkungan) yang kami inginkan. Kelompok menengah, ini bagian yang
perlu...ya pemahaman lebih, ya pemaksaan.
Bagi pengusaha kecil, yang punya lahan 5, 10, 20 hektar, mereka masih perlu dibina untuk meningkatkan produktivitasnya."
Kelapa
sawit hanyalah sebagian kecil dari 'beban' di hutan-hutan Kalimantan
Tengah. Masih ada persoalan pertambangan batubara yang harus dijawab
oleh tim Kuntoro. Untuk pertambangan, Kuntoro mengatakan, timnya baru
akan mulai 'merapikan' sektor tersebut.
Direktur Iklim dan
Inisiatif Kehutanan Pemerintah Norwegia Hans Brattskar mengatakan bahwa
dalam program ini, sangat penting agar dana dari negaranya membawa
keuntungan dan memperbaiki ekonomi penduduk lokal sambil tetap menjaga
hutan.
Meski begitu, "Norwegia tidak bisa memastikan bahwa
penduduk lokal akan mendapat keuntungan. Pemerintah Indonesialah yang
harus bertanggungjawab dan memastikan apakah penduduk akan mendapat
keuntungan sosial, pendidikan, atau mendapat pemasukan tambahan."
Direktur
Lingkungan PBB (UNEP/United Nations Environmental Programme) Achim
Steiner menyebut dalam hitung-hitungan ekonomi jangka 25 tahun, "Jauh
lebih menguntungkan bagi Indonesia untuk melestarikan hutannya daripada
memilih membabat hutan demi perkebunan kelapa sawit."
Masalahnya kini, apakah semua sektor keuangan (termasuk perkebunan dan
pertambangan) di Indonesia sudah melihat lebih jauh dari 25 tahun ke depan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar