Coaching
Coaching adalah proses
mengarahkan yang dilakukan oleh seorang manajer untuk melatih dan
memberikan orientasi kepada karyawan tentang realitas di tempat kerja
dan membantu mengatasi hambatan dalam mencapai prestasi yang optimum
Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai membina
Counseling
Counseling adalah proses
pemberian dukungan oleh manajer untuk membantu seorang karyawan
mengatasi masalah pribadi di tempat kerja atau masalah yang muncul
akibat perubahan organisasi yang berdampak pada prestasi kerja.
Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai membimbing
Situasi Kerja yang Membutuhkan Coaching
- Orientasi dan pelatihan bagi karyawan baru
- Adanya kebutuhan untuk mengajarkan ketrampilan dalam pekerjaan
- Komitmen karyawan yang kurang
- Konflik dengan rekan kerja
- Perbaikan prestasi kerja
- Perubahan dalam orientasi bisnis
- Konflik karyawan dengan pelanggan
- Evaluasi formal dan informal
Situasi kerja yang membutuhkan Counseling:
- Terjadi perubahan organisasi
- PHK
- Adanya penurunan gaji, status, atau jabatan.
- Karyawan merasa adanya hambatan karir
- Karyawan merasa kecewa dengan atasan
- Ada konflik dengan rekan kerja
- Karyawan stres, jenuh, atau terlalu banyak tanggung jawab
- Karyawan bimbang dengan kemampuannya
- Karyawan menghindar ketika mendapat tugas.
- Karyawan memiliki masalah pribadi, kadang berpengaruh pada prestasi
- Karyawan mengalami kegagalan
- Kemampuan karyawan yang luar biasa.
Why Coach and Counsel?
- Meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam kerja
- Meningkatkan pertumbuhan karyawan
- Meningkatkan kemampuan karyawan dalam menyelesaikan masalah
- Meningkatkan keyakinan bahwa tujuan dapat dicapai
- Memperkaya hasil belajar karyawan
- Meningkatkan komunikasi atasan-bawahan
A. Tugas Pokok Kepemimpinan
Tugas
pokok—seorang pemimpin yaitu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen
seperti yang telah disebutkan sebelumnya yang terdiri dari:
merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, dan mengawasi.
Terlaksananya
tugas-tugas tersebut tidak dapat dicapai hanya oleh pimpinan seorang
diri, tetapi dengan menggerakan orang-orang yang dipimpinnya. Agar
orang-orang yang dipimpin mau bekerja secara erektif seorang pemimpin di
samping harus memiliki inisiatif dan kreatif harus selalu memperhatikan
hubungan manusiawi. Secara lebih terperinci tugas-tugas seorang
pemimpin meliputi: pengambilan keputusan menetapkan sasaran dan menyusun
kebijaksanaan, mengorganisasikan dan menempatkan pekerja,
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan baik secara vertikal (antara bawahan
dan atasan) maupun secara horisontal (antar bagian atau unit), serta
memimpin dan mengawasi pelaksanaan pekerjaan.
Secara umum, tugas-tugas pokok pemimpin antara lain :
a. Melaksanaan Fungsi Managerial, yaitu berupa kegiatan pokok meliputi pelaksanaan :
- Penyusunan Rencana
- Penyusunan Organisasi Pengarahan Organisasi Pengendalian Penilaian
- Pelaporan
b. Mendorong (memotivasi) bawahan untuk dapat bekerja dengan giat dan tekun
c. Membina bawahan agar dapat memikul tanggung jawab tugas masing-masing secara
baik
d. Membina bawahan agar dapat bekerja secara efektif dan efisien
e. Menciptakan iklim kerja yang baik dan harmonis
f. Menyusun fungsi manajemen secara baik
g. Menjadi penggerak yang baik dan dapat menjadi sumber kreatifitas
h. Menjadi wakil dalam membina hubungan dengan pihak luar
B. Fungsi Kepemimpinan
Fungsi
pemimpin dalam suatu organisasi tidak dapat dibantah merupakan sesuatu
fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang
bersangkutan. Pada dasarnya fungsi kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu :
> Fungsi administrasi, yakni mengadakan formulasi kebijaksanaan administrasi dan menyediakan fasilitasnya.
> Fungsi sebagai Top Manajemen, yakni mengadakan planning, organizing, staffing, directing, commanding, controling, dsb.
Dalam
upaya mewujudkan kepemimpinan yang efektif, maka kepemimpinan tersebut
harus dijalankan sesuai dengan fungsinya. Sehubungan dengan hal
tersebut, menurut Hadari Nawawi (1995:74), fungsi kepemimpinan
berhubungn langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok
masing-masing yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada didalam,
bukan berada diluar situasi itu Pemimpin harus berusaha agar menjadi
bagian didalam situasi sosial keiompok atau organisasinya.
Fungsi kepemimpinan menurut Hadari Nawawi memiliki dua dimensi yaitu:
1)
Dimensi yang berhubungan dengan tingkat kemampuan mengarahkan dalam
tindakan atau aktifitas pemimpin, yang terlihat pada tanggapan
orang-orang yang dipimpinya.
2) Dimensi yang berkenaan dengan tingkat
dukungan atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksnakan
tugas-tugas pokok kelompok atau organisasi, yang dijabarkan dan
dimanifestasikan melalui keputusan-keputusan dan kebijakan pemimpin.
Sehubungan
dengan kedua dimensi tersebut, menurut Hadari Nawawi, secara
operasional dapat dibedakan lima fungsi pokok kepemimpinan, yaitu:
1. Fungsi Instruktif.
Pemimpin
berfungsi sebagai komunikator yang menentukan apa (isi perintah),
bagaimana (cara mengerjakan perintah), bilamana (waktu memulai,
melaksanakan dan melaporkan hasilnya), dan dimana (tempat mengerjakan
perintah) agar keputusan dapat diwujudkan secara efektif. Sehingga
fungsi orang yang dipimpin hanyalah melaksanakan perintah.
2. Fungsi konsultatif.
Pemimpin
dapat menggunakan fungsi konsultatif sebagai komunikasi dua arah. Hal
tersebut digunakan manakala pemimpin dalam usaha menetapkan keputusan
yang memerlukan bahan pertimbangan dan berkonsultasi dengan orang-orang
yang dipimpinnya.
3. Fungsi Partisipasi.
Dalam menjaiankan fungsi
partisipasi pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya,
baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya. Setiap
anggota kelompok memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi
dalam melaksanakan kegiatan yang dijabarkan dari tugas-tugas pokok,
sesuai dengan posisi masing-masing.
4. Fungsi Delegasi
Dalam
menjalankan fungsi delegasi, pemimpin memberikan pelimpahan wewenang
membuay atau menetapkan keputusan. Fungsi delegasi sebenarnya adalah
kepercayaan ssorang pemimpin kepada orang yang diberi kepercayaan untuk
pelimpahan wewenang dengan melaksanakannya secara bertanggungjawab.
Fungsi pendelegasian ini, harus diwujudkan karena kemajuan dan
perkembangan kelompok tidak mungkin diwujudkan oleh seorang pemimpin
seorang diri.
5. Fungsi Pengendalian.
Fungsi pengendalian
berasumsi bahwa kepemimpinan yang efektif harus mampu mengatur aktifitas
anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga
memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Dalam
melaksanakan fungsi pengendalian, pemimpin dapat mewujudkan melalui
kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi, dan pengawasan.
Kemudian
menurut Yuki (1998) fungsi kepemimpinan adalah usaha mempengaruhi dan
mengarahkan karyawan untuk bekerja keras, memiliki semangat tinggi, dan
memotivasi tinggi guna mencapai tujuan organisasi. Hal ini terutama
terikat dengan fungsi mengatur hubungan antara individu atau kelompok
dalam organisasi. Selain itu, fungsi pemimpin dalam mempengaruhi dan
mengarahkan individu atau kelompok bertujuan untuk membantu organisasi
bergerak kearah pencapaian sasaran. Dengan demikian, inti kepemimpinan
bukan pertama-tama terletak pada kedudukannya daiam organisasi,
melainkan bagaimana pemimpin melaksanakan fungsinya sebagai pemimpin.
Fungsi kepemimpinan yang hakiki adalah :
- Selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha untuk pencapaian tujuan
- Sebagai wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan pihak luar.
- Sebagai komunikator yang efektif.
- Sebagai integrator yang efektif, rasional, objektif, dan netral.
Fungsi pokok pimpinan adalah:
• Memberikan kerangka pokok yang jelas yang dapat dijadikan pegangan oleh anggotanya.
• Mengawasi, mengendalikan dan menyalurkan perilaku anggota yang dipimpin
• Bertindak sebagai wakil kelompok dalam berhubungan dengan dunia luar
Fungsi
kepemimpinan itu pada pokoknya adalah menjalankan wewenang
kepemimpinan, yaitu menyediakan suatu sistem komunikasi, memelihara
kesediaan bekerja sama dan menjamin kelancaran serta keutuhan organisasi
atau perusahaan.
Fungsi-fungsi kepemimpinan meliputi kegiatan dan tindakan sebagai berikut:
a. Pengambilan keputusan
b. Pengembangan imajinasi
c. Pendelegasian wewenang kepada bawahan
d. Pengembangan kesetiaan para bawahan
e. Pemrakarsaan, penggiatan dan pengendalian rencana-rencana
f. Pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya
g. Pelaksanaan keputusan dan pemberian dorongan kepada para pelaksana
h. Pelaksanaan kontrol dan perbaikan kesalahan-kesalahan
i. Pemberian tanda penghargaan kepada bawahan yang berprestasi
j. Pertanggungjawaban semua tindakan
Coaching (membina) adalah proses dimana atasan melatih, memberikan
orientasi, membantu atasi hambatan agar karyawan mencapai kinerja
optimum. Counselling (membimbing) adalah proses pemberian dukungan oleh
atasan kepada karyawan untuk atasi masalah pribadi atau perubahan di
tempat kerja. Membina & membimbing merupakan kombinasi beberapa
ketrampilan seperti mendengarkan, empati, bertanya, memberikan informasi
& menyusun rencana.
Coaching dapat membantu ketrampilan karyawan bertambah sehingga
pekerjaan atasan jadi lebih mudah. Ketika karyawan tdk tahu apa yang
harus dia lakukan karena pengalaman dia yang minim, maka dia perlu di
coach. Atasan perlu jelaskan step by step cara melakukan pekerjaan,
Tidak bisa melulu menuntut hasil akhir. Coaching/pembinaan dapat
memberdayakan (empowering) karyawan, sehingga atasan lebih mudah
delegasikan tugasnya. Coaching/ pembinaan dapat mendorong karyawan
mencapai hasil yang sesuai denfan keinginan atasannya. Asyik kan?
Choaching/pembinaan meningkatkan komitmen karywan untuk berhasil
karena mereka paham ” how” dan “what” sekaligus. Coaching /pembinaan
memfasilitasi kolaborasi diantara sesama karyawan sehingga tercipta “the
winning team”. Coaching meningkatkan motivasi & inisiatif karyawan
karena atasan menunjukkan pengakuan atas kinerja karyawan &
memberikan umpan balik. Coaching/pembinaan dapat meningkatkan kualitas
kinerja karyawan & melakukan koreksi atas cara kerja yang kurang
efektif.
Coaching juga dpr membantu karyawan merubah pola pikir menjadi lebih ”
out of the box” shg lebih kreatif & inovatif. Atasan dapat
membantu karyawa untuk menemukan sendiri cara terbaik dia dalam
melakukan suatu hal dengan pendekatan “bertanya” dan bukan
memerintah. Banyak atasan yang terbebani jika harus melakukan coaching
kepada anak .buahnya. Aneh kan? Berikut alasannya…
Atasan malas coaching karena tidak ada waktu, tidak tahu cara memberi
umpan balik, canggung, permisif terhadap kesalahan, kebanyakan anak
buah. Anggapan kalau coaching itu tidak penting karena toh karyawan
dapat memotivasi dirinya sendiri, bisa mandiri dan otodidak.
Contoh coaching dari atasan untuk karyawan , misalnya ketika hasil
kerja karyawan tidak memuaskan. kita tanyakan dahulu kepada yang
bersangkutan masalahnya kenapa? Kemudian bimbing dia untuk menemukan
solusinya sendiri. Selanjutnya buatlah kesepakatan untuk perbaikan dan
pelaksanaan solusi tersebut. Dengan proses ini diharapkan si karyawan
akan merasa memiliki terhadap komitmen tersebut, dan lebih termotivasi
dalam mencapainya.
Sementara councelling/bimbingan dapat meningkatkan produktifitas krn
terciptanya komunikasi terbuka antara atasan dan bawahan. Councelling
dapat mempertahankan karyawan karena karyawan merasa diperhatikan
masalahnya oleh atasan. Contoh Ketika karyawan butuh dukungan kita
karena konflik dengan klien, maka kita harus bijak memposisikan
diri. Karyawan perlu “mental up”. Setelah situasi aman terkendali nah
barulah kita dapat memberikan umpan balik. Umpan balik ke karyawan
diperlukan agar dia paham kesalahannya dan dapat mencoba
perbaiki. Councelling juga dapat mengukur tingkat penerimaan karyawan
terhadap sebuah perubahan dalam organisasi. Contoh Ketika karyawan masih
baru, perlu dijaga motivasinya dalam rentang 30 hari pertama. Untuk itu
karyawan harus ditemani hingga betul2 mampu beradaptasi dan mandiri
dalam mengerjakan tugas baru.
Councelling mengurangi terjadinya konflik & memperbaiki hubungan
kinerja tim. Ketika terjadi kisruh di dalam tim, maka para anggota tim
dapat di bimbing (councelling) satu persatu. Councelling meningkatkan
efisiensi usaha karena dapat mengukur motivasi & kebutuhan karyawan
serta dampaknya terhadap kepentingan usaha. Jika karyawan kelihatan
mulai loyo atau mendadak banyak melakukan kesalahan maka itu saatnya
councelling untuk dia.
Councelling dapat melatih atasan lebih peduli & berempati
terhadap masalah karyawan. Councelling dapat dilakukan oleh atasan
langsung atau oleh HRD tergantung permasalahan yang terjadi. Dalam
melakukan councelling kita tidak perlu berijazah psikiater. Yang penting
sensitif terhadao kebutuhan orang lain. Kadangkala Atasan agak malas
melakukan councelling karena repot, merasa bukan ahlinya, bukan
pendengar yang baik atau tidak mau terlibat. Padahal Councelling
seharusnya meningkatkan kepuasan kerja dan rasa percaya diri
karyawan. Cobalah mulai belajar melakukan coaching dan councelling
sebelum masalah menjadi lebih besar.
Kalau diuraikan dalam kata-kata, manfaat coaching ini antara
lain:
1. Meningkatkan TC ke DC
Istilah ini saya pinjam dari literatur kompetensi. Di sana
dikatakan bahwa TC (thereshold competency) adalah kompetensi dasar yang
dimiliki seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya tetapi kompetensi ini belum
bisa dibilang sebagai keunggulan. Jika seorang sekretaris baru bisa menyalin
surat ke komputer, jika seorang operator hanya bisa mengangkat telepon, jika
seorang sales baru bisa mengetahui produk dan menelpon orang atau mengirim
faksimile penjualan, ini semua adalah TC. Memang itu tugas dasarnya.
Sedangkan DC adalah Differentiating Competencies
(DC). DC adalah karakteristik yang dimiliki oleh orang-orang yang berkinerja
tinggi (high performer) dan yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang
berkinerja rendah (low) atau kurang (poor). Kita bisa ambil contoh misalnya
seorang sales yang sudah menguasai keahlian-keahlian yang dibutuhkan untuk
memelihara pelanggan yang menghasilkan hubungan kausalitas dengan penjualan.
Sales seperti ini bisa dikatakan orang yang berkinerja tinggi dengan kompetensi
yang dimiliki.
Persoalan yang kita hadapi adalah, bagaimana meningkatkan TC
seseorang menjadi DC? Disinilah coaching berperan. Kalau kita hanya menyerahkan
(memasrahkan) urusan ini kepada masing-masing individu, bisa-bisa saja. Cuma
saja di sini kerap menimbulkan masalah, sebab tidak semua individu sadar, tidak
semua individu tahu, dan tidak semua individu menempuh cara yang efektif dan
efisien untuk meningkatkan keahliannya dari TC ke DC. Konon, 98 % dari
usaha untuk membangun kompetensi terjadi melalui pekerjaan yang dilakukan
2. Jalan menemukan 3R
Meski semboyannya SDM itu aset, tetapi prakteknya tidak seluruhnya
begitu. Banyak SDM yang belum menjadi aset. Kata orang-orang SDM: “Hanya SDM
yang bagus yang menjadi aset usaha”. Bagus ini apa penjelasannya? Penjelasan
yang umum bisa kita singkat dengan 3 R: right people, right job and right
performance.
Persoalan yang kita hadapi adalah bagaimana menemukan 3R ini?
Tentu kita sadar bahwa 3R ini bukan sebuah hasil yang final (one-off). Amat
sangat jarang kita bisa langsung menemukan orang yang tepat untuk ditempatkan
di pekerjaan yang tepat agar bisa mencapai performansi yang tepat
(tinggi). Yang sering terjadi, 3R ini ini dicapai melalui proses. Jangan
kan karwayan, presiden atau menteri atau pejabat negara yang sudah diseleksi sedemikian rupa
pun tidak bisa langsung mencapai 3R ini. Bahkan waktu seratus hari pun
dikatakan belum valid untuk menilai kinerja presiden dan menterinya.
Karena itu, coaching bisa menjadi salah satu jalan untuk menemukan
3R. Kalau pun 3R ini belum bisa diwujudkan ke tingkat yang ideal, tapi
setidak-tidaknya coaching yang kita lakukan akan memperluas wilayah
“interkoneksi” antara ‘workforce requirement’ dan ‘workforce capabilities’.
Kalau pekerjaan yang ada menuntut orang yang punya skill berskala 7,
sementara skill orang-orang yang ada hanya sampai pada skala 5, ini tentu
wilayah interkoneksinya belum nyambung. Supaya nyambung, harus dinaikkan.
3. Jalan menemukan pemimpin dari
dalam
Dulu, praktek bajak-membajak tenaga ahli pernah menjadi isu besar
di beberapa media massa . Sekarang pun praktek semacam ini masih kerap
dilakukan meski sudah jarang dijadikan berita. Adakah sesuatu yang salah dengan
praktek bajak-membajak ini? Secara konsep memang tidak. Cuma dalam prakteknya,
tidak semua orang yang kita bajak itu menjadi “berkah”. Ada yang malah menjadi
beban. Artinya, meski konsep ini bisa jadi benar di teorinya tetapi untuk
mempraktekkannya butuh konteks yang tepat dan alasan yang spesifik.
Kalau melihat hasil studi yang dilakukan Jim Collin, rupanya
praktek bajak-membajak ini kurang digemari oleh para pemimpin usaha yang sudah
sanggup menggerakkan usahanya dari good ke great. Mereka rupanya punya tradisi
untuk mengembangkan seorang pemimpin (senior atau tenaga ahli) dari dalam.
Dipikir-pikir, ini memang rasional. Orang dalam yang kita kembangkan, akan
memiliki pengetahuan tentang keadaan secara lebih mendalam ketimbang
tenaga baru yang kita bajak.
Nah, kalau melihat ke sini, coaching bisa kita jadikan instrumen
atau jalan untuk melahirkan seorang pemimpin dari dalam. Dilihat dari
efektivitas dan efisiensinya, cara ini mungkin lebih menjamin ketimbang
membajak tenaga baru yang masih “abu-abu”. Kalau pun orang yang kita coaching
itu tidak menjadi pemimpin di tempat kita, tetapi setidak-tidaknya kerjanya
sudah lebih bagus.
Hambatan di Lapangan
Apa yang perlu di-coaching-kan? Kalau mengacu pada standar yang
umum, yang perlu di-coaching-kan adalah hard skill dan soft skill (istilah
lain: soft competency dan hard competency, job skill dan mental skill). Semua
karyawan menginginkan skill-nya naik, tapi cara yang mereka inginkan ternyata
(yang paling digemari) adalah face-to-face coaching di tempat kerja. 88 %
jawaban responden yang diteliti meyakini bahwa memiliki seorang mentor atau
coacher di tempat kerja merupakan hal yang penting untuk kemajuan karirnya
(CCL, Emerging Leader Research Survey Summary Report, 2003)
Meski sedemikian rupa coaching itu pada hakekatnya dibutuhkan,
tetapi prakteknya masih belum banyak yang melakukan. Beberapa hal yang kerap
menghambat terlaksananya kegiatan yang mulia ini, misalnya:
1. Budaya menghakimi / memarahi
Kita langsung memarahi karyawan saat melakukan kesalahan.
Marah terkadang tidak bisa dihindari tetapi yang kerap kita lupakan adalah apa
yang kita lakukan setelah marah. Kalau yang kita lakukan membenci atau
menjauhi, tentu akan berbeda efeknya dengan ketika yang kita lakukan setelah
itu adalah mendekati dan meng-coach-nya.
2.
Budaya membiarkan
Kita membiarkan karyawan bekerja sendiri-sendiri karena kita
malas atau tidak peduli dengan skill mereka. Membiarkan seperti ini tentu
berbeda dengan membiarkan yang punya pengertian memberi kesempatan untuk
mandiri dalam menerapkan pengetahuan.
3.
Budaya mengerjakan sendiri
Kita menangani sebagian besar pekerjaan dan enggan untuk
mendelegasikannya kepada yang lain karena kurang percaya
4.
Budaya mengharapkan hasil yang instan
Kita mengharapkan hasil yang instan dari apa yang kita
instruksikan pada mereka.
5. Budaya arogansi birokrasi
Kita menjaga jarak dengan karyawan untuk melindungi gengsi atau
kita enggan turun ke
bawah. Umumnya kita, semakin tinggi jabatan atau posisi, justru semakin jauh
dari realitas yang bersentuhan langsung dengan manusia dan masalahnya di bawah.
Dan lain lain seterusnya
Kalau mengacu pada teori pendidikan, meng-coach karyawan
itu sebenarnya juga termasuk mendidik. Bicara soal pendidikan ini mungkin ada
satu hal yang perlu kita ingat bahwa metode yang kita gunakan dalam mendidik
orang itu jauh lebih berperan penting ketimbang materi yang kita sampaikan.
Materi yang bagus akan diresponi tidak bagus kalau metode yang kita gunakan
tidak cocok dengan keadaan orang yang kita coach.
Beberapa hal yang penting
Untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini mungkin sudah
menjadi sebuah realitas tetapi belum ada namanya. Artinya, kegiatan ini
sudah dipraktekkan tetapi tidak memakai nama coaching. Sebaliknya juga, mungkin
untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini hanya sebuah nama tetapi tanpa
realitas. Artinya, kita hanya tahu apa itu coaching, manfaatnya apa, tujuannya
apa, tetapi tidak pernah kita praktekkan.
Terlepas itu sudah menjadi realitas atau baru sebatas nama, tetapi
sebetulnya ada beberapa hal yang penting untuk diingat, yaitu:
1. Memiliki data yang akurat
Data di sini mungkin tidak harus kita artikan sebagai data dalam
pengertian yang formal dan rumit. Data di sini bisa juga kita artikan sebagai
catatan pribadi yang berisikan tentang gap antara skill yang dimiliki
karyawan dengan tuntutan pekerjaan. Bisa juga berisi masalah yang
dihadapi si karyawan dalam kaitannya dengan kinerjanya. Bisa pula berisi
tentang perkembangan si karyawan yang kita coaching itu dari waktu ke waktu.
Dengan memiliki apa yang kita sebut data itu, berarti ketika kita hendak
meng-coach orang, kita sudah tahu apa yang perlu dan apa yang belum perlu, mana
yang perlu ditekankan dan mana yang belum perlu, dan seterusnya.
2. Menemukan metode yang ”teachable”
Seperti yang saya katakan di muka, bahwa dalam meng-coaching ini
memang kita dituntut untuk memerankan diri sebagai pendidik. Hal yang
terpenting di sini adalah menggunakan atau menemukan metode mendidik yang dapat
membuat orang yang kita didik itu bisa mendidik orang lain dan begitu
seterusnya. Dengan begitu, tanpa harus kita yang turun langung, program
coaching tetap berjalan di tempat kita. Ini tentu sangat positif. Selain
meminterkan orang lain, ini juga bisa membentuk lingkungan yang positif.
3. Menghidupkan, bukan mematikan
Ini soal cara bagaimana meng-coach orang. Meski kita sudah sama-sama
tahu bahwa cara yang bagus adalah menghidupkan semangat orang, tetapi dalam
prakteknya belum tentu pengetahuan itu kita gunakan. Ada cara yang menghidupkan
tetapi ada cara yang mematikan, ada cara yang mendorong tetapi ada
cara yang malah menarik. Cara yang kita gunakan terkadang bisa bertentangan
dengan niat yang kita maksudkan. Karena itu, meski niat kita baik, namun kalau
cara yang kita gunakan itu mematikan