Sawit Indonesia dan Energi Dunia
Senin, 12 Maret 2012 08:02 wib
Ilustrasi. (Foto: okezone)
INDONESIA adalah penghasil minyak sawit mentah (CPO)
terbesar di dunia dengan produksi sekitar 23 juta ton tahun 2011. Dari
jumlah tersebut, 16 juta ton diekspor ke luar negeri yang nilainya
mencapai USD16,4 miliar.
Sedangkan, sisanya sekitar tujuh juta
ton diserap pasar dalam negeri. Pertumbuhan produksi CPO, jika dibiarkan
secara alamiah seperti sekarang,hingga tahun 2040 diperkirakan mencapai
45 juta ton per tahun. Jika pengembangan sawit dilakukan dengan budi
daya yang baik serta memperhatikan aspek kelestarian,produksi CPO di
tahun 2040 bisa meningkat tiga kali lipat dari produksi sekarang yaitu
67,5 juta ton (data prediksi Kementerian Pertanian RI). Produksi sebesar
itu hanya akan menggunakan lahan seluas 15 juta hektare.
Berarti,
tiap hektare lahan sawit bisa menghasilkan 4,5 juta ton CPO per tahun
dengan budi daya yang baik dan modern. Bahkan, beberapa produsen sawit
optimistis bisa mencapai hasil lebih dari itu.Tapi, prediksi itu sangat
mungkin dicapai oleh Indonesia. Apa arti fakta dan prediksi seperti itu?
Sawit adalah keunggulan komparatif Indonesia dibanding komoditas
agrobisnis lain. Bahkan, sejumlah penelitian di dalam dan luar negeri
menunjukkan bahwa CPO adalah bahan baku minyak nabati yang paling baik
dibandingkan produk pertanian lain seperti kedelai, bunga matahari,
jagung, lobak, gandum, maupun jarak.
Minyak nabati adalah sumber
utama untuk makanan dan produksi energi terbarukan baik itu biofuel
maupun biodiesel. Data Oil World tahun 2009 menunjukkan berbagai
keunggulan CPO dibandingkan dengan produk pertanian lain. CPO tergolong
yang paling efisien dalam penggunaan lahan untuk pembudidayaan. Isu ini
penting karena lahan pertanian di seluruh dunia cenderung berkurang
karena berbagai sebab. Karena itu, efisiensi lahan dengan hasil panen
maksimal adalah kata kunci untuk mengukur seberapa besar komoditas itu
bisa diandalkan.
Seberapa besar efisiensinya? Oil World mencatat,
dari 232 juta hektare lahan di seluruh dunia, budi daya sawit hanya
menggunakan lima persennya untuk memasok 30 persen pasar minyak nabati
dunia. Bandingkan dengan kedelai yang menggunakan 39 persen lahan untuk
memasok 29 persen kebutuhan minyak nabati atau bunga matahari yang
menggunakan 10 persen lahan untuk memberikan kontribusi delapan persen
dalam pasar minyak nabati dunia. Seiring dengan pertumbuhan penduduk
dunia yang tahun lalu tercatat mencapai tujuh miliar dan pada 2045
diprediksi mencapai sembilan miliar orang, pemenuhan kebutuhan pangan
dan energi bagi penduduk bumi menjadi amat krusial.
Apalagi fakta adanya perusakan lingkungan akibat industrialisasi,
illegal logging, pertambangan,
dan salah kelola kehutanan bukanlah hal yang bisa disepelekan. Di
antara sekian banyak keunggulannya, sawit juga memiliki berbagai
kelemahan serius jika tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Isu
perusakan lingkungan dalam pembukaan lahan, kelestarian, keanekaragaman
hayati, emisi karbon, hingga ancaman terhadap satwa orangutan adalah
ancaman nyata bagi industri sawit. Perang opini yang dilancarkan para
aktivis lingkungan dan NGO internasional dalam beberapa tahun terakhir
ini terhadap sawit Indonesia bukanlah sebuah kebetulan.
Jika
disimak detail dari sisi waktu dan momentum,tampak ada pola yang
terorganisasi di sana. Tapi, bukan hal mudah untuk membuktikan bahwa
“perang” itu (
asymmetric warfare) benar-benar sedang terjadi.
Ciri-ciri perang asimetris biasanya tidak beraturan, tidak konvensional,
mengeksploitasi kelemahan lawan untuk mencapai kemenangan dan aktornya
bisa negara atau non-negara. Yang jelas, segala kelemahan tentang sawit
telah menimbulkan hambatan nontarif terhadap produk unggulan Indonesia
itu di pasar internasional.
Notifikasi Badan Perlindungan
Lingkungan (EPA) Amerika Serikat tentang CPO yang dianggap tidak
memenuhi syarat sebagai bahan baku biodiesel di negaranya adalah contoh
terjadinya hambatan terhadap sawit.Bagi EPA,CPO harus memenuhi syarat
bisa mengurangi emisi karbon minimal 20 persen agar bisa dijadikan bahan
baku pembuatan biodiesel. Sedangkan, CPO menurut studi EPA baru bisa
mengurangi emisi karbon 17 persen. Beberapa tahun sebelum EPA menerapkan
standar ini, Uni Eropa telah mengeluarkan hal serupa dalam program
Renewable Energy Directive.
Dari sekian bahan baku biofuel, CPO
tidak masuk kategori karena dianggap tidak ramah lingkungan dan tidak
memenuhi syarat minimal pengurangan emisi karbon yang digariskan Uni
Eropa. Baik Eropa maupun Amerika Serikat akan mewajibkan penggunaan
energi terbarukan dari minyak nabati pada sektor transportasi publik
secara bertahap. Atas kebijakan ini,kebutuhan energi terbarukan di kedua
benua akan semakin besar. Dan, CPO punya potensi besar memenuhi
kebutuhan itu jika mampu menutupi kelemahankelemahannya. Citra negatif
CPO sebagai perusak lingkungan terbentuk karena tak pernah berhenti
dikampanyekan.
Sementara,
counter opini terhadap
black campaign itu
seperti tidak begitu berdampak atau hanya terdengar sayup, timbul
tenggelam. Respons yang disampaikan hanya kasus per kasus, tidak
sistematis dan berkelanjutan. Ini adalah tugas seluruh stakeholder,
tugas masyarakat Indonesia serta kewajiban pemerintah kita.Apakah CPO
itu bisa menjadi senjata menghadapi musuh dengan keunggulannya atau
malah jadi senjata makan tuan,semua kembali ke diri kita sendiri.
PURWANTO
Mahasiswa Fellowship Paramadina Graduate School of Diplomacy